Bandung, "Parit van Java"

on Sabtu, 07 Februari 2009

BANDUNG, yang sejak lama sudah mendapat julukan Paris van Java, Kota Kembang, Kota Asia-Afrika (A-A), serta sederet nama lainnya, pada usianya yang ke-192-usia tua renta yang penuh dengan permasalahan lingkungan dan kehidupan-ternyata bentuk dan sifatnya semakin rawan dan semakin pikahariwangeun (mengkhawatirkan).

Padahal di dalam ba it-bait lagu dan dangding tentang Kota Bandung, semuanya memiliki nada-arti yang sama: pujaan, pujian, dan kenang-kenangan manis penuh arti bagi Bandung, ibu kota Parahyangan.

Oleh karena letaknya di dataran tinggi, yang dikelilingi pegunungan, hutan, dan perkebunan, udaranya sejuk dan menyehatkan, penduduknya ramah-ramah, dan alamnya gemah ripah loh jinawi, tata tengtrem pikabetaheun (tenteram dan membuat betah).

Tetapi, bagaimana sekarang?

Sesuai dengan umurnya yang semakin tua, keadaannya yang semakin kumuh, jumlah penduduknya yang semakin banyak dan membeludak, ditambah dengan keadaan lingkungan yang tidak mendukung didapati banyak pencemaran yang dihasilkan oleh permukiman padat, terutama yang dihasilkan banyak jenis pabrik yang mengelilingi Bandung.

Dapat dibayangkan kalau Bandung sekarang sudah begini, apalagi yang akan datang, akan semakin rawan dan semakin matak-pikahariwangeun sarerea (mengkhawatirkan semua orang).

Pohon lindung di sekitar Bandung banyak yang sudah berubah, baik dari segi jumlah maupun jenis dan penempatannya. Padahal, pohon lindung berfungsi sebagai paru-paru kota yang akan menyerap segala jenis udara kotor yang mengandung pencemar, serta kemudian menghasilkan udara segar dan bersih. Jangan heran kalau penghuni Bandung dewasa ini banyak yang mengidap penyakit pernapasan, sesak-sesak, sampai ke penyakit paru-paru ataupun asma.

Bahkan, yang paling menyedihkan dengan udara Bandung yang sudah sangat jelek nilainya untuk kehidupan adalah semakin langkanya jenis burung berkicau, yang dulunya setiap pagi akan ramai berbunyi di setiap pohon, berloncat-loncat antara dahan satu ke dahan lainnya, seperti kutilang/cangkurileung, jogjog, kerak, piit, dan galejra. Bahkan, sampai burung malam yang biasa ikut menyemarakkan Kota Bandung malam hari, seperti bueuk dan koreak, sekarang sudah hampir hilang. Kalaupun ada, itu hanya di sekitar Bukit Dago, atau Ciumbuleuit, atau Setiabudhi, atau tempat-tempat di pinggiran kota yang masih berdekatan dengan rimbunan pohon, tegalan, dan persawahan.

Kehadiran pohon tertentu sekitar perumahan, pertamanan, dan pusat perkotaan, ataupun tempat-tempat lainnya, sejak lama sudah dicadangkan oleh Gemeente Bandung atau Kodya Bandung sejak Bandung ini berubah dari kampung besar menjadi kota.

Karena kehadiran pohon tertentu, bukan sekadar sebagai penyaring udara jelek, menjadi penarik burung agar menjadi betah bersarang dan tinggal. Akibatnya, apakah itu subuh-subuh dan apalagi sore hari, di tempat-tempat tersebut akan "recet" atau ramai oleh suara kicauan burung.

Apalagi sekarang, Bandung bukan hanya dikuriling ku gunung dan lembur, tetapi justru sudah penuh terkurung oleh banyak jenis pabrik, baik di bagian selatan sekitar Dayeuhkolot, Banjaran, dan Soreang ataupun di bagian timur dan barat sekitar Rancaekek, Cicalengka, Ujungberung, Cimahi, Padalarang, serta tempat-tempat lainnya.

Sumber pencemar udara akan diperparah lagi oleh kehadiran pencemar air, baik yang datang dari pabrik dan industri ataupun dari pusat keramaian kota sampai ke rumah-rumah penduduk. Maka tidak heran kalau suatu saat berjalan melewati Jalan Moh Toha, Kopo, Buahbatu, Cicadas, dan Padalarang, kita menyaksikan air yang mengalir sepanjang sungai berwarna kuning, merah, biru, hijau, atau hitam sekalipun, tergantung kepada limbah warna pencelupan apa yang sedang dialirkan. Tetapi, jangan dilupakan, kotoran yang berasal dari WC, dari dapur, dari kamar mandi terbawa aliran sungai juga membahayakan.

Ini sekadar untuk diketahui, betapa parah dan berbahayanya air sungai di Kota Bandung dari pencemaran rumah tangga. Hasil analisis kandungan bakteri-tinjanya (bakteri Coli), nilai rata-rata antara 10 x 106 sampai 10 x 1014 itu sudah merupakan nilai rata-rata setiap hari. Sedangkan dengan nilai sudah lebih dari 10 x 103, besar kemungkinan di dalam air sungai tersebut juga berisi bakteri/kuman penyebab penyakit menular-berbahaya, seperti muntaber, tifus, paratifus, diare, dan kolera, yang menjadi penyebab terjadinya wabah dan keracunan setiap saat.

Kondisi lahan di Kota Bandung saat ini juga mengalami krisis, terutama akibat kemarau panjang. Sekering dan sepanjang apa pun musim kemarau, Bandung tidak pernah ditimpa krisis sumber air karena dengan dataran tinggi Bandung yang dikelilingi hutan, perkebunan, dan banyak ruang terbuka hijau (RTH) ditambah dengan letaknya pada cekungan kawasan Bandung, cadangan air hujan akan selalu tersedia secara cukup dan baik.

Masalahnya, RTH di Bandung, dalam bentuk pertamanan dan tegalan, sekarang banyak berubah menjadi bangunan dan menjadi tempat parkir, bahkan menjadi pompa bensin segala.

Kemudian lahan-lahan dan ladang di bagian utara atau selatan atau timur Bandung juga sudah banyak yang berubah menjadi permukiman padat, bangunan pabrik, dan pusat perkotaan. Maka apa yang disebut kawasan resapan air (KRA), terutama air hujan, sudah sangat jauh berkurang, bahkan hilang sama sekali.

Celakanya, begitu hujan turun, banjir-cileuncang (banjir kecil yang disebabkan curahan hujan) akan cepat berubah menjadi banjir besar yang menimpa permukiman, perkotaan, jalan, kawasan pabrik, dan sebagainya yang pada akhirnya menyebabkan bencana jangka pendek.

Bencana jangka pendek itu adalah banyak bangunan, jalan, dan jembatan yang rusak. Sedangkan untuk jangka panjang, sisa-sisa akibat banjir akan dapat menjadi sumber wabah penyakit, minimal muntaber (muntah berak) dan demam berdarah, serta kerusakan lainnya.

Akibatnya, muncul julukan Bandung Parit van Java (paritnya Jawa), sebagai pelesetan dari sebutan Bandung Parijs van Java (Kota Paris-nya Pulau Jawa).

Belum lagi dampak lain yang membuat penghuni kota menjadi beringas, berperilaku kasar. Masalahnya adalah udara yang kotor penuh dengan berbagai jenis pencemaran, kawasan yang kotor penuh sampah dan kotoran lainnya, tanpa adanya tanaman yang memberikan kesejukan, tanpa pemandangan indah dan penyaring udara kotor, akan banyak berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang, menjadi semakin beringas, semakin nekat, semakin memiliki sifat kriminal, dan semakin jahat.

Apakah Kota Bandung dibiarkan menjadi seperti ini?

Tentu saja tidak sehingga diperlukan upaya dan tindakan bersama untuk menyelamatkannya sejak sekarang. Jadikanlah Bandung, hijau dan bersih, seperti semboyan lama yang sudah dicanangkan sejak lama.

Jadikanlah Kota Bandung tetap bersih dari segala macam sampah dan kemudian menjadi hijau dengan berbagai jenis tanaman/pohon bermanfaat di setiap jengkal tanah yang memungkinkan, seperti warisan Bandung Tempo Doeloe. Pertahankan Bandung sebagai Parijs van Java.

0 komentar:

Posting Komentar