Dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, diterjemahan Armijn Pane (Balai Pustaka, 1982). Terdapat sebuah surat Kartini tertuju kepada Nn Zeehandelaar (6 November 1899): “Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau serupa itu. Bukan. Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman luas sekelilingnya, tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah menjadi penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu, bila senantiasa harus tinggal di sana sesak juga rasanya."
Dalam surat di atas, Kartini menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa, dunianya hanya sebatas tembok rumah. Sebagai misal, Kartini saja hanya sampai usia 12 tahun diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School)—harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Gerakan emansipasi wanita telah berjasa besar dalam menghantarkan kaum wanita Indonesia menuju mimbar kehormatan dan gerbang kebebasan, harus dipahami kebebasan bukan berarti kebablasan. Realita melintas ditengah-tengah kehidupan modern, bahwa wanita tidak lagi dipandang sebelah mata, lebih dihargai dan dihormati. Dewasa ini, tak dapat dinapikkan telah banyak kaum wanita dalam meniti karier, pendidikan bahkan jabatan melebihi kaum pria, memang sudah menjadi tuntutan zaman.
Seperti pada pemilu 2004 lalu keterwakilan wanita diperhitungkan, dengan mengacu pada Pasal 65 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 18 Februari 2003 “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”
Ketentuan dari UU diatas merupakan tindak lanjut dari konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), soal penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu, Uni Antar Parlemen (Inter Parliamentary Union) pada tahun 1997 di New Delhi mendeklarasikan “Hak politik perempuan harus dianggap sebagai satu kesatuan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, politik perempuan tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia”.
Di satu sisi UU tersebut membawa kemajuan bagi perempuan untuk duduk di legislatif—selama ini merasa termarginalkan dari panggung politik. Di sisi lain, tuntutan kuota sama dengan melestarikan ketidakberdayaan. Sebuah ironi, meminjam istilah Abu Ridho—Ketua SIDIK Foundation—maksud hati kuota akan membawa pembebasan, tapi apa daya terperangkap oleh kuaota itu sendiri; pembatasan.
Emansipasi dan Degradasi Moralitas
Degradasi moralitas wanita terbuka lebar didepan mata, lantaran kesalahan dalan memahami konsep emansipasi. Berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi, beberapa waktu lalu terjadi perdebatan alot dan sangat menegangkan antara pro (dapat merusak moral terutama generasi muda) dan kontra (kebebasan berekspresi dan nilai seni) terhadap RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan pornoaksi).
UU tersebut, pada hakikatnya upaya melindungi kehormatan wanita selama ini dijadikan objek penjualan utama produk pornografi dan pornoakasi, mulai dari iklan-iklan terkadang setengah telanjang—maaf bahkan telanjang, ditambah lagi adegan-adegan mesum di televisi semua lebih di simbolkankan dengan perempuan. Praktik tersebut, tidak bisa digolongkan dengan emansipasi atau kebebasan tapi lebih “Kebablasan”. Padahal, emansipasi wanita oleh pemudi zaman klasik adalah membuang stigma kasar bahwa wanita hanya berkisar “Kasur, sumur dan dapur”. Paradigma ini, dapat membuat kaum wanita tertekan, tertindas bahkan merasa tak berguna.
Hemat penulis, untuk kembali meluruskan konsep “Emansipasi Wanita”, beberapa hal perlu di realisasikan. Pertama, memformat dan menyuara ulang konsep emansipasi wanita. Kekinian, secara umum kaum wanita Indonesia tidak memahami secara tuntas konsep emansipasi wanita. Bila salah dalam menafsirkan kebebasan, maka akan terjadi pengkhianatan terhadap konsep “Emansipasi wanita”.
Hari ini, perlu diwaspadai banyak wanita menuntut kesamaan hak dengan pria, kesamaan untuk berkompetisi dalam dunia liberal dan terbebas dari ikatan kultural. Dengan dalil mendobrak streotip bias gender kaum feminis (baca: wanita) dengan mengusung gerakan emasipasi. Perlu diingat bahwa konsep emansipasi gagasan Kartini sangat bertolak belakang dengan konsep emansipasi kaum feminis.
“The end of the institution of marriage is a necessary condition for the liberation of women” (Declaration of Feminism, 1971). Dari deklarasi tersebut, kaum feminis menganggap institusi pernikahan sebagai The Frakenstein Monster (dalam film horor: sesosok mayat manusia dihidupkan kembali dan memiliki rupa menyeramkan, sadis, bahkan menjijikkan) harus diperangi demi kebebasan perempuan.
Selain itu, Robin Morgan, Editor Ms. Magazine (majalah kebangsaan kaum feminis), mengatakan bahwa pernikahan hanya akan menghambat kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Bahkan Sheila Cronin, tokoh terkemuka kaum feminis menganggap pernikahan tak ubah sebagai praktik perbudakan terhadap perempuan.
Kedua, gerakan penyadaran sedini mungkin terhadap generasi muda akan hakikat emansipasi wanita. Sejak dini, kaum mudi sudah harus dikenalkan dan diberi penjelasan terhadap batasan-batasan kebebasan dan hak mutlak harus dimiliki wanita. Sehingga, cara ini akan mampu memfilter kaum mudi dari kebebasan tanpa arti sekaligus menyelamatkan kaum mudi dari pengaruh kebebasan “Kebablasan”.
Realita dewasa ini, mewartakan telah terjadi semacam pergeseran paradigma berpikir kaum mudi. Begitu pula dari segi penampilan, sebagai misal kebaya ciri khas pakain wanita Jawa dan baju kurung ciri khas pakain wanita Sumatra Barat ‘Minangkabau’, telah dijauhkan dan menjadi tak menarik bagi kaum mudi dengan alasan ketinggalan zaman—padahal, memberikan kesan sopan dan santun ala Indonesia.
Ketiga, menanamkan prinsip bahwa wanita tidak akan pernah sama dengan pria. Kesadaran wanita akan kodrat, akan mampu mengurangi resiko sebuah persaingan tanpa batas antara pria dan wanita dalam memenuhi peran dan menjalankan pelbagai aktivitas. Memang, sudah hukum alam peranan kaum perempuan tidak bisa disamakan dengan kaum pria.
R.A. Kartini dapat menjadi sosok teladan kaum mudi—khususnya dan wanita Indonesia umumnya, dalam memperjuangkan hak-hak wanita dipanggung kehidupan hingga mampu berperan lebih banyak. Sangatlah tepat ungkapan Anis Matta, Dalam buku “Biarlah Kuncupnya Mekar Menjadi Bunga”. Dalam artian, berikan kesempatan sama bagi wanita untuk belajar mengembangkan pengetahuan dan kemampuan.
0 komentar:
Posting Komentar